Cerpen Inspiratif | Pelukis Mimpi dan Sekotak Kisah | Cerita Created by MupidStory
Cerita Murni Karya Pribadi, jika pernah menemukan cerita ini di laman lain, itu artinya saya pernah memposting di blog saya sebelumnya dan merevisinya di laman ini.
PELUKIS MIMPI DAN SEKOTAK KISAH
Oleh : MupidStory
“Sudah ku bilang Nek, bukan ini yang ku mahu. Kumohon, mengertilah Nek,” seusai ucapan itu keluar dari mulutku, aku pergi; meratapi kecamuk kekesalan yang sebentar membuatku tak terkendali. Tak biasanya aku begini, tak sekalipun aku pernah berbahasa kasar dengan nenekku; satu-satunya keluarga yang ku miliki.
Aku keluar dari rumah dengan berat hati. Aku memerlukan ruang privasku sendiri. Meskipun nenek memiliki alasan meminta suatu hal itu padaku, tapi sekalipun ia tak membenarkanku mengetahuinya dan aku tak mahu jika harus dipaksa tanpa alasan, aku memiliki mimpiku sendiri, dan aku juga ingin mengatur masa depanku sesuai dengan impianku.
“Maafkan aku, Nek,” keluhku. Dadaku berombak sakit; tidak begini yang ku inginkan. “Ku mohon Nek, mengertilah,” keluhku lagi sembari tangan meraup wajah. Kepalaku benar-benar pusing; aku belum siap pulang, tapi aku harus pulang. Meskipun ini terjadi karena nenek, aku tetap tak bisa membuatnya risau. Kutahu, ia mengkhawatirkanku yang pergi begitu saja, aku tak bisa membuatnya sedih; tapi nenek sudah membuatku bingung untuk memilih.
“Rachma,” panggilan nenek ku hiraukan. Bukannya aku berniat untuk kurang ajar, aku masih tak menyangka nenek akan sebegitu memaksaku mendalami suatu hal yang segelintir pun tak ingin ku minati.
Nenek mengeluh, sebenarnya bukan maksudnya membuat cucu satu-satunya itu bersedih dan berat hati dengan permintaannya. Ia hanya ingin mewujudkan impian anaknya yang pergi bersama kenangan-kenangan yang perit tuk dikenang. Karmila adalah ibu dari Rachma cucunya. Ia adalah seorang wanita yang kuat, meski hidupnya tak pernah meresapi kebahagiaan menjadi sebagai seorang isteri atau ibu yang sesungguhnya untuk Rachma. Tapi, ia sudah banyak berkorban untuk mereka, hidupnya hanya ia dedikasikan untuk kebahagiaan kedua mutiara hatinya; anak dan suaminya. Tapi, takdir berkata lain, suaminya meninggal karena kanker yang diidapnya selama bertahun-tahun itu tak lagi dapat membuatnya bertahan. Dan begitupun ia, yang kemudian menyusul sang suami seminggu kemudian, meninggalkan puteri kecilnya yang baru lahir ke dunia. Dia Rachma Alifah, anaknya, mimpinya.
Mimpi Karmila adalah menjadi seorang penulis. Itulah mengapa ia memberi nama anaknya Rachma Alifah, agar anaknya itu mendapatkan suatu berkah dariNya, sehingga ia dapat meneruskan mimpinya yang belum tercapaikan, setidaknya biarlah anaknya menjadi mimpinya.
Kehidupan ini bukanlah suatu kesalahan, tapi keberkahan. Ia bersyukur memiliki suaminya dan anak yang masih di dalam kandungannya. Bukan kesalahan suaminya, ketika hidupnya tak berwarna, hanya hitam yang menghiasi. Tapi, ia sudah redha sekalipun ia harus mengorbankan hidupnya untuk mereka. Karena mereka pula, ia ingin menuliskan segalanya tentang cintanya. Ia ingin semua orang tahu ia bahagia bersama mereka, meskipun suami yang dicintanya memiliki keterbatasan, tapi ia mampu mencintainya dengan sepenuh hati tanpa peduli pada rengekan orang mengenai dirinya, cintanya tulus untuk Karmila. Dan kelembutan hati suaminya itulah yang membuat Karmila jatuh hati.
Ia tak pernah memandang Lukman dari segi kurangnya, sekalipun ia tahu suatu saat ia akan ditinggalkan. Tapi ia sadar, ia pun kelak juga akan meninggalkan, siapa yang tahu dengan rencanaNya. Kehidupan ini bukanlah suatu hal yang perlu disesali, kita memang perlu memilih, dan pilihan Karmila adalah suaminya. Suami yang amat sangat dicintainya.
Coretan demi coretan ibuku, ku usap penuh iba dengan telapak tangan. Air mata serta-merta menitis; tak menyangka ibu ceria yang sering ku dengar dari nenek, mengalami begitu banyak kesedihan dan keperitan hidup. Aku bertambah terisak mengamati judul buku harian ibu, bahkan namaku pun ikut andil dalam impian ibu sebelum aku lahir ke dunia. Ku rengkuh buku tebal ibuku ke dalam dekapan, “Bu, maaf; ini bukan keahlianku. Bisakah engkau memiliki impian yang lain? Aku bukan ibu yang pandai meragkai kata, menceritakan kisah-kisah yang mampu menyentuh hati semua orang dengan tulisan. Tapi ini impian ibu, pantaskah aku sebagai puterimu menghiraukannya?” desahku bersama isak tangisku.
Semakin deras air mataku menerokahi pipiku. Ku biarkan saja ia mengalir, otakku runsing memikirkan apa yang aku pilih ketika aku telah mengetahui semua perihal ibuku. Sudah sekian kali aku membaca coretan ibu, mempelajari setiap bait yang ibu torehkan. Namun, ibu adalah ibu dan aku adalah aku. Kita berbeda, tapi entah bagaimana nenek mahu mengerti. Ia tetap bersikeras menginginkan aku mempelajari sastera, bahkan aku harus mengikuti kursus dan masuk di Universitas yang nenek mahukan. Ia begitu yakin dapat merubah pendirianku. Aku marah. Tapi ketika melihat buku tebal milik ibu, aku luluh. Sungguh, walaupun aku belum pernah bertemu dengannya, aku ingin menjadi salah satu mimpinya. Ku peluk erat-erat satu-satunya peninggalan ibuku itu, berharap mendapat kekuatan untuk ku genggam hingga tak perlu takut melangkah ke depan.
“Rachma, nenek mahu bicara,” ujarnya tegas. Aku berhenti dari terus melangkah dan beputar menghadap tubuh tua milik nenek. Aku tahu kali ini nenek akan marah seperti biasanya, ia mengawasiku selalu.
“Iya, Nek. Ada apa? Rachma capek, Nek. Ingin ceppat-cepat mandi dan tidur,” ujarku jujur.
“Kenapa kamu tidak masuk kelas dan kursus lagi hari ini? Bagaimana kamu bisa kalau kamu terus-terusan begitu, Ma?” aku senyap, seperti selalunya. Hampir-hampir tak pernah memberi komentar pada setiap kemarahan nenek.
“Rachma, nenek berbicara sama kamu bukannya patung. Jadi jawab pertanyaan nenek, kamu sudah sering menghampakan permintaan nenek, jangan hampakan impian ibumu juga. Apa kamu tidak menginginkan kebahagiaan ibumu di sana?”
Aku yang sedia tertunduk serta-merta mendongak, “apa yang nenek bicarakan? Rachma nggak suka, kalau Rachma tidak mampu menjadi seorang penulis bukan berarti Rachma tidak menginginkan kebahagiaan ibu, Nek. Tolong mengertilah, sudah sekian kalinya Rachma mencoba. Menulis ini bukan duniannya Rachma. Tolonglah, biarkan Rachma membahagiakan ibu Rachma dengan cara Rachma sendiri, biarkan Rachma memilih jalan Rachma sendiri. Rachma bukan ibu, Nek. Dan nenek sudah tahu itu, dan kalau Rachma tak bisa menjadi seperti apa yang nenek dan ibu inginkan, pantaskah Rachma dihukum?” aku mengesat air mata yang turun tanpa ku pinta.
Aku merasa terpojok, selalu saja salah dalam segala situasi. Nenek diam dan bermuka pucat, aku mengeluh karena bimbang kata-kataku menyakiti hatinya. Tapi, biarlah nenek mengerti. Aku ingin memilih jalanku.
“Tolonglah, Ma. Bukan untuk nenek, lakukan semua ini demi ibumu,” kembali air mataku menetes, nenek belum mengerti. Dan aku tewas dengan keadaan.
“Nek, apakah nenek tidak pernah memperthitungkan segala usaha-usahaku mendapatkan semua piala-piala ini? Semua ini mimpiku, Nek. Ini semua mimpiku, penulis bukan jalanku, Nek. Aku tercipta untuk melukis. Sekalipun aku tak mampu merangkai kalimat cinta untuk ibu, biarlah aku melukis surga sebagai tanda cintaku padanya. Cukup untuk Rachma berada dalam situasi ini.
Jika nenek memang benar-benar menginginkan Rachma menjadi orang lain, baiklah. Biarlah setiap gerakku disertai benang-benang nenek. Tapi, jangan salahkan Rachma, jika suatu saat Rachma tak mampu menjadi apa yang nenek harapkan,” sejurus itu aku meluahkan rasa dan meninggalkan nenek yang terpaku sambil mengamatiku melangkah menaiki tangga. Kutahu, air matanya menetes. Mengalahkah ia?
Seperti biasanya, aku menjalani kisah yang dirancang oleh nenek. Keluar rumah dengan tujuan orang lain, dan pulang dengan kehampaan. Seperti boneka. Entah sampai kapan nenek akan menyerah, yang pasti aku lelah dengan segala materi yang harus aku pelajari, tapi tak satupun yang masuk ke dalam memori otakku. Entahlah, aku tak seperti mereka-mereka yang mampu menciptakan mahakarya berbentuk tulisan setiap harinya, satu kalimat pun aku tak mampu, hanya dua kata yang ada di pikiranku setiap kali pena dan kertas di depan. Dan lagi-lagi entah, aku tak peduli jika mereka merendahkanku. Aku bukan diriku, itu yang aku tahu.
Siang itu, aku sengaja pulang terlambat. Aku ingin melukis, aku merindukan cat warna mengotori tanganku dan kanvas bergoyang elok di papan lukisku. Pulang bukan tempat yang aku tuju, karena pulang tak mampu membawaku ke destinasi mimpiku. Aku melenyapkan diri dari kerumunan manusia, tak peduli pada orang suruhan nenek yang mengikutiku atau mata-mata yang rancu memandangku berlari. Mereka terlalu ku acuhkan dan terlalu bodoh untuk terus menghalangiku. Biarlah, untuk saat ini saja. Aku ingin melepas rindu. Bila bahagiaku bukan tempatku pulang, aku ingin menyepi. Tapi, sepipun tak mampu ku dekap, karena segalanya perlukan cinta dari insan-insan yang pernah mendidik kita.
Aku tersenyum mengamati mahakaryaku, bila sasterawan dunia mampu menciptakan syair-syair, biarlah aku bersama kanvasku melukiskan syair-syair itu. Saat berada dalam perpustakaan pagi tadi, aku membaca sebuah syair. Entah bagaimana mungkin ianya mampu memberiku pintu berkarya, meskipun aku tak mengerti seberapa bagusnya tulisan itu atau seberapa hebat penulisnya, tapi tulisannya cukup menyentuh hatiku. Dan mataku menerawang jauh, mungkin jika ibu masih hidup. Syairnya akan seindah itu.
“Sudah cukup untuk hari ini, aku sudah puas.” Aku merapikan semua peralatan lukisku dengan kebahagiaan di dada. Tapi, semakin cepat pergerakanku karena sebuah mata yang sejak aku duduk di sudut taman hingga kini memandangku lekat-lekat. Aku bergidik. Suruhan nenek tak habis-habisnya dengan pekerjaannya. Apa dia tak pernah merasa bosan mengejarku ke sana-sini? Dengan gerakan cepat aku beredar dari situ. Senja telah lama mengukir hari. Aku yakin ketika sampai di rumah, nenek sudah menanti di depan pintu atau di kamarku. Entah kemarahan bagaimana lagi yang akan ku dapatkan, aku sudah lali.
Nenek tersenyum dengan kehadiranku. Aku bingung. Bukankah nenek telah mengupah seseorang untuk membuntutiku? Atau orang itu, orang lain...
“Masuklah sayang, ada yang ingin menemuimu,” ujar nenek ceria.
“Siapa?”
“Dia bilang kekasihmu, Ma. Dan nenek tersanjung dengan keberaniannya menemui nenek. Kamu pandai memilih pacar,” ucapan nenek membuatku semakin bingung. Sejak kapan aku bermadu kasih? Satu lelakipun tak ada yang ku kenal di kampus. Mahunya lelaki, kaumku pun tak berminat ku ajak berteman, semuanya tak ada yang sekepala denganku.
Aku kaget dengan wajah yang ralat menghadap ke arahku. Ia tersenyum, aku kecut perut dan menelan ludah. Bukakah dia suruhan nenek yang tiap hari membuntutiku? Mengapa dia mengaku kekasihku?
“Nek.., dia itu,” aku kelu hendak menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Aku masih bingung dengan keadaan. Dan dia? Entah, sejak tadi tak berhenti mengukirkan senyuman.
“Sudah nggak usah malu lagi, Alif. Nenek sudah tahu semuanya, aku ke sini hanya ingin mengembalikan ini. Kamu meninggalkannya di perpustakaan, dan maaf kalau aku sudah lancang membuka isinya. Bagus. Aku mau minta izin ke kamu untuk menerbitkan tulisan itu.” Aku memandang buku tebal milik ibu yang telah berpindah ke tanganku. Sejak kapan aku meninggalkannya? Tadi dia bilang apa? Aku kurang paham. Aku menengok ke arah nenek yang berbinar-binar. Semakin runsing otakku dengan situasi ini.
“Tentu saja, Nak Taufik. Ini memang impian pemilik buku itu sejak dulu. Tolong silahkan, saya menyetujui pembukuan dan penerbitannya, alhamdulillah. Ma, cita-cita ibumu akan segera tercapai,” nenek bertutur seakan bahagia baru dikecapnya kala itu saja. Aku hanya diam, tak ingin merusak kebahagiaan nenek. Biarlah otakku dengan ribuan tanda tanya, asalkan nenek sudah tidak menunjukkan singa lagi di hadapanku. Sungguh, aku merindukan nenekku yang lembut dan penyayang.
“Kamu tahu, kenapa aku berada di sini, my love?” aku menggeleng. Entah sejak kapan aku mengenal cinta. Ianya datang begitu saja tanpa sempat aku pinta atau tanpa sanggup aku pungkiri. Tanpa alasan cintaku itu semakin tumbuh, entah bagaimana aku harus menceritakannya, yang dapat aku paparkan hanyalah bahwa aku telah dinikahi oleh Taufik; si pengintai hariku.
“Tolong, tanyalah sesuatu padaku. Aku ingin kamu meminta sesuatu atau bertanya sesuatu. Jangan mencintaiku apa adanya, aku menginginkan perkembangan cinta kita bukan alurnya saja,” aku tersenyum. Sejak bersamanya, ia terlalu banyak menuntut suatu hal yang tak ku jangkakan. Aku memeluknya, berharap ianya merasa tenang dengan pelukanku.
“Kenapa hubbyku ini sering membuntuti saya?” tanyaku.
“Tunggu sebentar, sayang duduk di sini dulu,” pelukan dirungkaikannya dan aku ia dudukkan di atas ranjang.
Aku mengamatinya yang tekun mencari sesuatu. Ku lihat ia mengeluarkan sebuah kotak dan beberapa buku. Entah milik siapa buku-buku itu, tapi yang pasti kotak itu milik ibu yang kemudian menjadi milikku. Aku heran, bagaimana bisa berada padanya?
“Sayang tahu ini milik siapa?” aku mengangguk, “ingin tahu kenapa berada sama hubby?” tanyanya lagi yang ku sambut dengan anggukan sekali lagi. Dia tersenyum dan duduk di sampingku kemudian membuka kotak milikku.
“Hubby tidak sengaja menemukan kotak ini ketika sayang meninggalkannya di lobi kampus dahulu sebelum hubby mengenal sayang. Hubby terkesan dengan setiap dua kata yang sayang torehkan dalam kertas-kertas kecil ini. Selalu dapat membangkitakan imajinasi hubby untuk menuliskan kisah dari dua kata yang sayang buat. Dan hubby jadikan tiap-tiap kertas yang berisi hanya dua kata itu menjadi sebuah judul. Saat hubby telah menghasilkan buku-buku ini, hubby ingin bertemu dengan pemilik dari kotak ini untuk berterima kasih. Dan hubby menemukan nama dan alamat sayang di bawah kotak ini.
Betapa bahagianya hubby ketika pertama kali melihat sayang di depan teras rumah nenek..,” Taufik menarik napas dalam-dalam, aku tak sabar menanti.
“Lalu?” ia menarik tanganku lekat ke dadanya.
“Betapa cepatnya irama jantung ini setiap kali hubby memandang wajah sayang. Dan setelah itu, hubby tak lagi dapat hidup tenang tanpa membuntuti sayang.” Aku terharu.
“Bagaimana hubby yakin kalau saya pemilik dari kota itu? Satu kali pun hubby tak ingin mendekati saya untuk bertanya, hanya bertindak seperti mata-mata yang nenek upah untuk membuntuti saya,” tanyaku berdiplomasi.
“Insting lelaki ini kuat sayang, apalagi tiap kali sayang berlari ke sudut taman untuk melukis. Lukisan sayang sama seperti pandangan hubby pada tiap dua kata yang sayang ciptakan.”
“Lukisan saya juga berasal dari sebuah syair yang sangat menggugah hati saya, dan entah bagaimana saya bisa jelaskan. Syair itu adalah milik hubby,” aku tersenyum. Darinya aku belajar banyak hal tentang dunia menulis dan bagaimana ketika kita menulis untuk meluah, bukan menciptakan mahakarya atau sebagainya. Ia jadikan menulis ini sebagai kebutuhan hidup kami. Setiap kali kami memiliki kisah, kami torehkan sebuah kata atau bahkan kalimat, kemudian kami simpan dalam sebuah kotak. Menurutnya ini adalah pembelajaran yang paling efektif untuk diriku yang sulit merangkai kata.
Dan tak lupa pula, darinya pun aku sadar bahwa tanpa sengaja aku telah menjadi seorang penulis dalam sebuah kotak dan merealisasikan beberapa mimpi-mimpi ibuku dalam sebuah lukisan.
Jepara, 25 Agustus 2016
0 Komentar