Cerita ini Murni karya pribadi, harap membaca dan mematuhi ketentuan pembaca dan besikaplah dengan bijak ya guys. 

SOJOY (STORY ENJOY) YUK!!!


PILIHAN HATI

Hati yang Terlanjur Patah

Apa yang paling menyakitkan kalau bukan terluka karena penolakan cinta saat semua masih terasa indah dan enggan untuk mengakui kenyataan kalau semua itu telahpun usai...,


***

Malam yang begitu dingin, seakan tak lagi berpengaruh bagi Haliza yang masih duduk terpaku di jendela kamarnya di lantai dua itu. Entah apa yang tengah mengganggu pikirannya sampai duduk melamun di tengah dinginnya gerimis malam.

Air mata yang sedia menetes ia seka kembali, pedih hatinya mengingat kejadian petang itu. Sakit rasanya melihat orang yang sangat ia kasihi dan percaya sepenuh hati tiba-tiba menghianatinya.

Ya, apalah daya Haliza yang hanya seorang manusia biasa yang juga memiliki sifat cemburu. Ia cemburu, sangat cemburu dengan wanita yang saat itu tengah bermadu kasih dengan Arman, tunangannya.

"Liza, ini Mama Nak. Please, bukalah pintunya. Makanlah sedikit, Nak. Kamu belum makan sejak pagi lagi. Mama bawakan Nasi uduk kesukaan kamu sayang," ujar mamanya Haliza sembari mengetuk pintu kamarnya. Sudah puluhan kali tangan tuanya mengetuk pintu itu, namun orang yang berada di sebalik pintu masih setia dengan murungnya.

Sebenarnya, ia tak bermaksud menyusahkan mamanya dengan bertingkah demikian. Tapi, perasaan kecewa membuatnya sangat lemah dan tak ingin melakukan apa-apa selain meratapi kesedihan hati. Sekali lagi mamanya mengetuk puntu kamarnya, masih teguh menantinya dengan sepiring nasi kesukaannya. Jika ia sedang waras, sudah pasti ia akan semangat membukakan pintu itu dan mebabas habis seisi piring yang di bawa mamanya. Tapi, sekarang ia tak bernafsu untuk melahap sebarang makanan apapun meskipun itu adalah makanan kesukaannya.

"Ayolah Nak. Kamu tak kasihan dengan mama, bukalah Nak. Please, demi mama," pujuk mamanya lagi. Kali ini Haliza kalah dengan pujukan lirih dari mamanya, ia akhirnya mau membukakan pintu meskipun langsung tak menatap mamanya.

Tapi, Nyonya Maira sudah sangat senang akhirnya Haliza mau membukaakan pintu untuknya, ia sangat khawatir dengan keadaan anaknya setelah mendengar berita putusnya hubungan puterinya itu dengan Arman dari Nyonya Inaya, mamanya Arman.

"Liza, kalau sedang ada masalah. Mama bisa jadi pendengar yang baik untuk Haliza. Sebesar apapun masalah itu, kalau mama bisa membantu. Mama bantu, Sayang. Jangan terlalu banyak dipendam, apapun keputusan Liza, mama akan hargai," bujuk Nyonya Maria, mengawali pembicaraan.

Haliza langsung meluru ke dalam dekapan ibunya, ia menangis semaunya. Ingin ia katakan pada mamanya kalau ia tidak apa-apa, tapi bibirnya terasa beku karena menahan sakit hati yang amat berat.

"Ceritalah, Sayang. Mama percaya dengan Haliza. Anak mama tidak akan mengambil keputusan yang besar tanpa sebarang alasan, ya kan?" ujarnya kembali sembari mengusap lembut punggung anaknya.

"Ma, Mama percayakan Haliza kan?" tanyanya sedih, "meskipun Nyonya Inaya berkata buruk perihal Haliza?" lanjutnya.

"Yalah, mama pasti percaya dengan anak mama yang satu ini. Tidak mungkin, anak mama yang cantik dan baik ini melakukan hal yang tidak-tidakkan?" puji Nyonya Maira semangat. Haliza sembunyi senyum, 'mama, mama, bisa aja buat hati Haliza ni tenang,' derunya dalam hati.

"Alaaaa, kamu sembunyi senyum kan? Mama dah lihat tau," ucap mamanya.

"Hahaha, apalah mama ni, kita lagi serius, mama bercanda pulak. Pakai memuji Liza segala," papar Haliza tak mampu menahan tawanya lagi. Nyonya Maira tersenyum karena senyum puterinya mengembang.

"Mama serius, Liza. Mama selalu percayakan Haliza selama Liza tak pernah membantah mama," ucap mamanya serius.

Haliza terharu dengan perlakuan mamanya untuknya, "uh, luluh hati Liza, Ma," putusnya sambil memeluk mamanya kembali.

Seorang ibu memang paling mengerti kegundahan setiap anak-anaknya. Haliza bersyukur memiliki mama sebaik dan sebijak Nyonya Maira. Ia selalu merasa tenang ketika bersamanya. Apapun masalahnya, semua tentang dirinya, mamanya selalu tahu, meskipun serapi apapun ia menyembunyikan semua itu dari mama tercintanya.

"Serius? Dia berani berselingkuh dibalik kamu, Liza?" tiba-tiba Nyonya Maria naik angin setelah aku menceritakan kejadian kemarin petang.

"Ssst, mama ni, papa nanti dengar, Ma. Katanya jangan beritahu papa dulu," bisikku pada mama. Kalau mama ni adik aku, sudah pasti ia ku cubit-cubit karena gemas.

"Oh iya, mama kan kaget. Siapa yang tidak marah anaknya diperlakukan seperti itu, apalagi dia adalah orang yang awalnya mama percaya. Jadi, selama ini mama hanya tertipulah kan?"

Haliza diam, ia juga tertipu dengan kemanisan yang pria itu suguhkan. Ia akui, ia sudah terlanjur sayang. Bahkan mungkin lebih dari itu. Bagaimana tidak, dua tahun ia menjalin kasih, dua tahun pula ia mengenal pria itu. Ah, mungkin ia tidak benar-benar mengenalnya. Ia mungkin keliru dengan perasaannya selama ini. Iya, mungkin memang begitu.

'Mudahnya, hati ini dipermainkan,' pikirnya. Entah apa yang akan papa putuskan kali ini, ia tidak tahu. Karena memang dari awal hubungan ini hanya berdasarkan perjodohan belaka. Mungkin, ia yang sudah tersasar atau berharap lebih.

"Dahlah, jangan bersedih. Nanti mama akan bicara dengan papamu, mama yakin pasti papa akan mengerti," bujuk Nyonya Maria ketika Haliza tiba-tiba berwajah kusut kembali.

"Tapi, Ma. Kenapa baru sekarang Haliza tahu kenyataan ini, saat Haliza sudah mau menerima dia," ucapnya sendu. Nyonya Maria kembali memeluknya.

"Allah pasti punya rencana yang baik untuk Haliza. Percaya sama mama, semua ini pasti ada hikmahnya. Beruntung Haliza tahu sekarang, dibandingkan Liza tahu setelah kalian menikah. Haru nanti jadinya, ya kan?"

Benar kata mamanya, seharusnya ia bersyukur karena Allah memberi tahu sebelum semuanya menjadi lebih buruk. Mungkin, ini adalah teguran untuk Haliza karena terlalu percaya dan hanyut dengan kebahagiaan duniawi yang disuguhkan Arman untuknya.

"Terima kasih, Ma. Liza jadi merasa tenang setelah curhat dengan mama," ucapnya tulus. Kembali ia mengeratkan pelukan untuk mamanya sebagai luapan sayangnya pada ibunya tercinta.

"Nah, sekarang makan ya," ujar Nyonya Maira setelah melepas pelukan.

Haliza mengangguk dan menyambut suapan dari mamanya dengan senyuman. 'Ah, memang susah kalau harus merajuk dengan mama. Memang kecerdikan dan keriangan mama selalu bisa meluluhkan hatiku,' pikir Haliza senang menanggapi setiap perhatian yang diberikan mamanya.

***

Bersambung….,

 

 

0 Komentar