Cerita ini Murni karya pribadi, harap membaca dan mematuhi ketentuan pembaca dan besikaplah dengan bijak ya guys. 

SOJOY (STORY ENJOY) YUK!!!


PILIHAN HATI

Perjodohan

CINTA. Untuk saat ini, ia hanyalah seperti lorong-lorong gelap yang sesak. Begitu gelap sampai aku tak bisa melihat kedua kakiku sendiri. Dan ketika tanganku tak sengaja menemukan pintu, semakin dibuat bingung aku karena jalan yang tak berujung membawaku kembali menemukan pintu yang lain, dan lagi-lagi aku tersesat karena salah memasuki sebuah pintu...,
***

Flashback on two years ago...,

"Apa, Pah? Haliza akan bertunang? Dan, minggu depan?" Tanya Haliza tak percaya.

Ia baru saja meredakan nyeri di punggung setelah duduk di ruang tamu rumah yang amat dirinduinya ini. Dan papanya memaparkan sebuah kabar yang bahkan tak pernah terlintas di benaknya. 'Ini tidak boleh terjadi, aku bahkan belum puas dengan ke-single-anku sekarang. Ayah tidak berhak mengatur hidupku sampai seenaknya memutuskan kapan aku akan menikah!' pikirnya.

"Ayah, aku baru saja wisuda kemarin. Bahkan belum masuk seminggu dan ayah sudah menyuruhku tunangan?" Tanyanya masih dengan kesabaran.

Kalau bukan dengan ayahnya ia tengah berbicara sekarang, sudah pasti ia akan mengamuk-meraung semaunya. Seenaknya mengatur masa depan yang sudah dengan rapi ia rencanakan sendiri. Ia juga punya mimpi, dan apakah ayahnya tidak memikirkan pendapatnya mengenai semua itu?

"Ini keputusan ayah, kamu akan bertunangan dengan anak teman ayah minggu depan. Kamu jangan khawatir, Liza. Ini hanya tunangan, kamu masih bisa mewujudkan semua mimpimu sebelum kalian menikah. Lagipula, kalau soal career dan pekerjaan, ayah harap kamu tidak berpikir untuk lari dari perusahaan ayah," ucap Tuan Hendra datar dan langsung beranjak usai mengatakan kalimat muktamat dari bibirnya.

Haliza bergidik, tak ya pun ia memang selalu bergidik jika harus berhadapan dengan ayahnya. Pada akhirnya ia juga yang harus merelakan diri menerima keputusan apapun yang diambil ayahnya.

Tapi, tidak pernah sekalipun ayahnya ikut campur dengan mimpinya. Memang sudah sedari dulu ia menyukai dunia arsitek seperti ayahnya. Mungkin hanya itulah kesamaan yang akan terus menyelamatkannya dirinya dari kedinginan ayahnya.

"Uh, mama..," rengeknya pada mamanya, "Haliza tak suka dengan keputusan ayah yang semaunya membuat Liza tak bisa memilih. Liza punya pilihan Liza sendilah ma."

"Liza dah punya pacar ya?" Tanya mamanya kaget.

'Upss, aku salah bicara pulak,' sesalnya. Ia sudah semakin salah tingkah dengan tatapan slidik dari mamanya. Ia tahu tak mudah menyembunyikan sesuatu dari mamanya. 'Habislah aku setelah ini,' pikirnya.

"Hei, kenapa diam ni? Liza dah ada pacarkan?" Desak mamanya. Dan Haliza masih membisu.

Nyonya Maria sudah menunjukkan wajah sedihnya. Ia sadar puterinya sudah semakin beranjak dewasa, dan inilah yang paling ia takutkan yaitu Haliza yang mulai menyembunyikan sesuatu darinya.

Haliza semakin merasa tidak tenang melihat mamanya yang diam dan tak lagi mendesaknya.

"Ma?" Panggilnya.

Tiba-tiba Nyonya Maira berlinangan air mata. Haliza panik. Hendak memanggil papanya, takut ia pulak yang akan disalahkan papanya nanti. Ia bingung harus berbuat apa meskipun ia sudah sering melihat mamanya menangis karena merajuk dengan papanya. Tapi, tetap saja ia tak bisa melihat mamanya bersedih. Sejak kecil lagi, meskipun terkadang ia takut dengan ayahnya. Tapi, ia akan selalu menatap tajam ke arah papanya saat mamanya menangis. Tapi sekang? Siapa pulak yang harus ditatapnya karena kali ini bukan salah papanya, tapi dirinya sendiri.

"Mama kenapa ni? Maafkan Haliza kalau Liza ada salah ya, Ma? Liza tak bermaksud menyakiti hati mama," ucapnya lirih.

Tapi bukan mereda, mamanya malah semakin galak sesenggukan.

"Ma, janganlah seperti ini. Liza jadi bingung harus bagaimana," keluh Liza lembut.

Serta-merta mamanya diam dan menatap ke arah puteri yang sejak dulu selalu ia manjakan. "Maafkan mama. Mama bukan mama yang baik sampai tak bisa menjadi teman bagi Haliza sampai Liza tak sudi bercerita masalah pribadi dengan mama."

'Lha? Itukah masalahnya? Jadi, mamanya hanya menangis karena dia tak mau bercerita masalah persaannya kah? Duh, kenapa mamaku ini lembut sekali sampai hal sekecil inipun sampai dibuatnya serius,' dumalnya dalam hati.

"Liza bukannya tak mau ceritalah, Ma. Tapi, Liza malulah," ujarnya bersemu merah.

Berkali-kali mamanya berkedip, tak berapa lama meletuslah tawa mamanya, "apa pulak? Pakai malu segala dengan mama. Kamu ni, sakit perut mama karena ketawa," ujar mamanya yang tak kunjung meredakan tawanya.

Apalagi yang dilakukanya kalau tak manyun dua depalah bibirnya sekarang, "Ma, Liza serius tahu Ma," ujarnya kesal.

Nyonya Maria menghentikan tawanya meskipun ia masih mersa lucu dengan sikapnya dan juga anaknya. Malu juga sebenarnya karena ia sudah sampai menangis-nagis karena takut puterinya itu akan berubah. Eh, dia yang ditangisi hanya sekedar memendam malu.

"Maaf, maaf, mama khilaf," candanya sembari mengajak puterinya ke kamar Haliza guna mencari ruang privasi untuk mereka berbincang ala sesama perempuan.

"Jadi?" Tanya mamanya setelah mengunci rapat-rapat pintu kamar dengan paduan cat warna hijau dan biru langit juga beberapa pernak-pernik serial cartoon kegemaran puterinya yang elok tersusun rapi di dinding.

Ya, Haliza sampai saat ini masih saja menyukai bahkan memiliki puluhan video cartoon winnie the pooh di laptopnya. Ia sangat menggilainya karena menurutnya tokoh utama dalam serial tersebut sangatlah menggemaskan. Bahkan ia juga memiliki beberapa boneka kecil maupun besar dalam kamarnya. Sejak kecil lagi, mamanya dengan senang hati membolehkannya mengoleksi semuanya itu. Dan pada akhirnya, penuh satu kasurnya dengan bonekanya. Tapi, ia senang dan tidak mau berpisah dengan satupun dari mereka.

"No, aku tak bisa tidur, Ma. Kalau winnie2ku tak menemaniku tidur," rengek Haliza kecil ketika mamanya ingin memindahkan beberapa boneka dari kasurnya.

Nyonya Maria tersenyum ketika mengingat masa kecil Haliza yang cukup memenuhi ingatannya. Haliza adalah anak semata wayangnya, dokter sudah mengesahkan bahwa ia tak dapat memiliki zuriat lagi setelah kelahiran Haliza. Ia sudah bersyukur Haliza bisa selamat meskipun lahir dalam keadaan premature. Ya, salahnya dulu tak berhati-hati ketika menuruni anak tangga dalam keadaan ralat mengandung 7 bulan lebih 2 minggu.

"Kenapa ni? Kenapa mama nangis lagi? Liza tidak suka melihat mama bersedih ni," ujar Haliza seraya mengusap air mata mamanya. 'Aku melukai mama lagikah?' Duganya dalam diam.

"Tidak, sayang. Mama hanya bersyukur anak mama ini sekalipun tak berubah meskipun beberapa tahun jauh dari mama," jawab mamanya tulus.

Haliza tersenyum, "apanya yang beberapa tahun, Ma. Haliza tiap bulan pulang ke rumah ini juga dibilangnya tak pulang beberapa tahun. Tak iyanya benar tak pulang, menangis meraung mama nanti," guraunya guna menghalangi tangisan kembali tumpah.

Dia pulang ke rumah karena ingin mengobati rindu, mengapa harus bercumbu dengan tangisan mamanya pulak sekarang. Tak adil betul!! Haru, haru hidupnya habis ini. Semua gara-gara papalah, mengapa tiba-tiba menyuruhnya bertunang dalam masa dekat ini, getir hatinya perih.

"Jadi, gimana. Anak mama ini sudah punya pacar ya?" Goda mamanya yang langsung ditanggapi dwngan semu merah di pipinya.

'Habis merah mukaku ini pasti. Duh, kenapa masih ingat dengan itu sih,' keluhnya dalam hati. Tapi, ya. Untuk mamanya ia akan menepis semua kemaluan yang ada. Eh?

"Bukan, bukan, Ma. Bukan pacar. Tapi...,"

Flashback off

***

Bersambung…,

 

0 Komentar