Semenjak Hujan Merancak

Part 1

‘Mungkin hujan yang paling mengerti aku. Rintiknya membuatku merasa tenang. Duka yang membelenggu jiwa atau sedih yang melanda hatiku pun sejenak terlupakan ketika deruannya menyentuh jemariku. Kurasakan sejuknya hingga ke pangkal hatiku yang terdalam. Damai.’ Eh, seperti galau saja kata-kataku dalam coretan Mimiku ini. Hehehe, oh ya kenalin Mimi itu hatiku. Anggap saja aku tadi sedang berbicara dalam hati, hehehe. Memang begitu kan orang yang tengah patah hati? Bicara-bicara sendiriBagaimana tidak patah hatiku ini, aku terpaksa memutuskan suatu perkara yang bertolak belakang dengan hatiku. Tapi, sudah nasib badan tak mampu berbuat apa-apa. Lagipula, nasi sudah menjadi bubur, cinta tak mungkin kembali ke pangkuan hati, huhuhu.
“Mila Mila..,” aku hampir terjatuh dalam kubangan air di depan banggu tempatku bermunasabah. Hah, untung tanganku masih berpegangan pada tiang. Apa masalahnya SDA-ku ini, sampai terjerit-jerit membuatku terkejut. Aku tengah mendalami peran sebagai tokoh utama yang tengah putus cintalah, sahabat dunia akhiratku; Dina oiii...
“Ada apa?” tanyaku dengan wajah muram. Biarlah dia tahu kalau aku tengah berduka, seenak-enaknya menyergah orang begitu saja. Untung aku tak memiliki riwayat jantung. Kalau tidak!! Mahunya aku sudah terkapar tak berdawai. Nauzubillah...
“Eh, kamu kenapa, Mi? Sakit? Muka penyok kayak dandang bocor begitu,” ujarnya santai. Semakin keruh wajahku dengan ucapannya, tak bertuah betul memiliki sahabat sekaligus sepupu seperti dia!Sakit hati aku. Wajah cantik begini, disama-ratakan dengan dandang bocor? Penyok lagi. Fight!!!
“Ada apa?” tanyaku lagi menghiraukan ejekannya. Oke, lain kali aku balas SDA-ku sayang. Hari ini aku memang sama sekali tak berminat untuk bertempur. Lain kali, aku balas ejekanmu dengan berdus-dus kata pedas dari bibir tipisku ini, kalau perlu berton-ton biar bertapa sekalian di toilet gara-gara sakit perut. Hahaha. Jahatnya aku, kan?
“Bude sama nenek manggil kamu tuh, disuruh bantuin mengemas barang hantaran. Kakak kamu mau menikah kok kamunya malah melamun di sini, kenapa? Masih kepikiran yang kemaren ya, Mi?” Aku mengeluh. Sejauh apapun aku mengelak dari kenyataan itu dari Dina, semakin dia tahu saja. Percuma saja menutupi sesuatu darinya. Sudah banyak kali aku menyembunyikan perasaanku dari Dina. Banyak kali pula dia melihat aku mengeluhkan sesuatu.
“Aku nggak pernah bermaksud begitu, Din. Aku Cuma nggak bisa nerusin ini semua. Tapi, sepertinya dia salah paham, makanya dia nggak mau menerima keputusanku,” Dina duduk di sampingku mencoba memberi kekuatan untukku.
“Mi, aku mengerti kenapa kamu melakukan ini semua. Tapi, setidaknya cobalah jelaskan duduk permasalahan ini dengan dia. Mungkin dia akan mengerti.”
“Kamu nggak mengenalnya, Din. Dia nggak akan mudah melepas seseorang yang dia sayangi begitu aja. Kita udah 5 tahun bersama, tentang dia semuanya aku tahu begitu juga sebaliknya. Tapi, Din. Semua ini nggak bisa diterusin..,” aku tahu tangisanku tak akan mampu merubah segalanya. Tapi, kalau hanya dengan tangis ini sedikit meredakan laraku bagaimana lagi aku tak menangis? Cintakah yang membuatku lemah? Entah, biarlah aku dan Allah yang tahu.
“Aku tahu kamu kuat, Mi. Jangan sampai hal ini membuatmu lemah. Mana Milaku yang ceria? Kamu jelek tauk kalau bangun-bangun mata bengkak, belelekan lagi. Lagian besokkan kakakmu menikah, masak adiknya jadi hantu belantara di tengah istana?” dia bilang apa tadi? hantu belantara di tengah istana? Cantiknya perumpamaan yang dia berikan padaku. Tapi, terima kasih Din. Kamu memang satu-satunya orang yang paling mengerti perasaanku. Meski sejauh manapun aku menyembunyikan semua yang terbuku dalam benakku, kamu tetap bisa menemukannya. Terima kasih, Din. Kamu memang sahabat dunia akhirat bagiku. Ceileh.., hehehe.
“Hm.., kamu ini bisa aja buat aku gemes, Din. Orang serius kok malah main-main. Hilang mood sedihku, sekarang jadi bĂȘte abisss.”
“Hahaha, Dina gituloh. Udah ah, masuk gih. Dingin tauk. Lagian kita masih ada banyak kerjaan.”
“Ok, Mummy keduaku. Adinda menurutimu,” kata terakhirku membuat tawa menemani petangku bersamanya. Dina begitu baik, ku tahu suatu saat nanti dia pasti menemukan seseorang yang mampu menjaganya dengan sepenuh hati. Entah siapa seseorang itu, dia akan sangat beruntung jika berhasil menambat hati batu seperti Dina ini. Bagaimana tidak ku sebut dia hati batu, setiap kali melihat orang yang menangis dia ejek seperti dia tak pernah menangis saja. Tapi, ku tahu Dina tak bermaksud begitu. Dia hanya ingin semua orang tahu bahwa menangis bukan jalan terakhir sebuah permasalahan. Love you more, Din.
“Kak, grogi ya?”
“Em..., rasanya aku mau pingsan, Mi.” Hahaha, siapa yang suruh ngebet mau nikah cepat; rasakan sendiri yak Kak, aku nggak mau ikut nimbrung, hehehe. Jangan sampai nanti di depan Bapak Penghulu, kamu mundur tiba-tiba Kak. Bikin malu aja, percuma saja punya otot gede kalau nggak bisa ngucapin ijab kabul, hahaha.
Kalau aja Kak Arman tahu aku mengutuknya diam-diam, sudah pasti alamatnya aku tak selamat makan nasi besok, huhuhu. Untung aku tengah ayu berlakon sekarang, menjaga hati kakakku satu-satunya inilah, apalagi? Dia kan sedang panas-dingin bertarung dengan perasaan bahagia dan takut. Ya, sebentar lagi dia akan menggalas tanggung jawab sebagai seorang suami. Sudah pasti ada rasa cemas di dalam hatinya, aku cukup sekedar mendoakan kebaikan untuk masa depan abangku ini, semoga pernikahannya hingga ke jannah. Amin.
Masa memang begitu cepat berlalu, aku sudah 22 tahun. Dan abangku tinggal menunggu beberapa jam lagi akan mempersunting suri hatinya. Aku akan sangat merindukannya, akukan adik satu-satunya. Uh, sudah pasti dia akan lebih mementingkan istrinya dibanding aku kan? Huhuhu, sedihnya. Adik macam apa aku ini kan, egois tak bertempat. Hehehe. Siapa lagi nanti yang akan menghibur dan ku ajak bertengkar di rumah kalau sang empunya sudah berpunya? Tinggal badan sendirilah yang menunggu pangeran tampan melamar kita. Hahaha.
“Jangan pingsan sekarang, Kak. Belum-belum kok udah give up? Katanya cinta mati sama Kak Nisa? Uh, apa buktinya coba?” Kak Arman melotot ke arahku, apa masalahnya? Aku salah ngomong ya? Aku garu belakang kepalaku yang tiba-tiba gatal. Takutlah Beb dengan panahan mata abangku ini. Seperti serigala tua putus cinta, hahaha.
“Jangan pernah bilang begitu lagi, kamu nggak ngrasain rasanya sih, Mi. Menikah ini bukan urusan yang mudah. Aku benar-benar cinta mati sama Nisa, kalau ya pun tak cinta; tak mungkin dadaku bergetar hebat seperti ini. Hah, coba kamu pegang dadaku, cepat gila rentaknya. Rasanya mobil ekspres pun kalah dengan kecepatan panahan cintaku ini, Mi.” Ceh, kalau tak pandai merangka kata-kata bukan Kak Armanlah namanya, panjangnya penerangan cinta darinya. Terketar-ketar bibirku hendak menjawab apa.
“Ya ya, cintapun cintalah. Sudahlah berjiwang-jiwang, Kak. Simpan semua itu buat Kak Nisan nanti malam,” kataku sambil mengenyitkan mata dan segera berlalu guna menghindari sebatan buku lima darinya. Sah, kalau terkena sudah pasti merah delima kulitku nanti. Lebih baik menghindar kan?
Kurang setengah jam lagi akad nikah akan dimulai, tapi kelibat Dina tak muncul-muncul jua. Bukankah dia yang paling bersemangat menyiapkan acara pernikahan abangku ini? Kemana pula dia sekarang? Tengah sembelit kah? Hahaha, ada-ada saja aku ini, kalau benar Dina tengah sembelit, sudah pasti kasihan sekali dia tak dapat menikmati acara yang susah payah dia siapkan. Eits, dan aku juga akan sangat kesepian tanpa jeritan-jeritannya nanti. Huhuhu. Semoga Allah tak makbulkan kata-kataku yang tadi.
“Kemana sih Dina ni? Tak tahu apa, Adinda Mila tengah mencarinya?” rungutku sambil celingukan ke sana-sini. Sudah puas mataku merancau ke setiap sudut rumah abahnya Kak Nisa, tak juga ku temukan batang hidungnya Dina yang tak semancung hidungku. “Hish, Kemana sih Dina ni?” keluhku lelah mencari. Aku menarik kerusi untuk ku duduki, melepaskan lelah sebentar. Terasa kursi begitu jauh dari pantatku, alhasil aku terduduk di atas lantai. Apa yang terjadi padaku? Aku tak paham, yang aku tahu semua mata terarah ke arahku. Malu, malu tak terkata. Siapa yang sanggup buat aku malu sebegini?
Dengan sigap aku bangun. Pantat memang sakit, panas, tapi lebih panas wajahku yang menahan malu. Mimpi apalah aku tadi malam sampai kejadian ini menimpaku. Segera aku beredar dari situ, sudah kebas lututku menahan malu. Dina yang sebentar tadi aku cari, aku lupakan. Tak sempat dua langkah kakiku melangkah, tanganku ditarik seseorang. Siapa yang lancang memegang tangaku nih? Cepat-cepat aku merungkaikannya, kalau lelaki ‘haram’ tahu. Aku mendongak.
“Taufik?” aku tercengang. Tak menyangka akan bertemu dengannya di acara pernikahan abangku. Siapa yang mengundangnya? Kak Arman kah? Atau Kak Nisa? Apa hubungan mereka? Banyak pertanyaan yang muncul di otakku, tapi aku hiraukan begitu saja. Aku ingin segera pergi.
“Mila, tunggu.” Aku sama sekali tak peduli lagi. Panggilah sebanyak manapun, aku tak akan menoleh. Dia hanyalah masa lalu bagiku, dan selamanya akan begitu.
“Ku mohon berhentilah,” sekali lagi tanganku direntap, kali ini sedikit kasar.
“Lepas. Sakitlah,” rontaku kasar. Tapi apalah dayaku yang hanya seorang wanita dibandingnya yang jelas-jelas lebih kuat dariku.
“Please, Mil. Sebentar aja kita bicara,” pohonnya. Aku masih tak mengalah mau dilepaskan. Ini tekadku, aku harus cepat-cepat pergi darinya. Semua orang benar-benar memerhatikan kami. Bukan lagi karena aku yang terjatuh, tapi karena Dia! Aku sudah tak sanggup menyebut namanya lagi. Sudah cukup sekali itu saja.
“Please Fik, lepasin tanganku. Jangan buat aku begini,” aku hampir menangis, dadaku sesak harus berhadapan dengan kenyataan bahwa aku harus bersemu muka dengannya lagi setelah setahun aku menjauhkan diri.
Taufik sedikit merungkaikan pautannya, memberi kesempatan untukku melepaskan diri. Tanpa menoleh lagi, segera aku angkat kaki dari situ. Aku tahu, dia lemah melihatku hampir menangis. Dan aku tahu, dia akan sakit begitu melihatku menjauhkan diri. Aku terpaksa, semua ini terpaksa.
Bersambung......,

0 Komentar