Part 2 Pilihan Hati - Perjodohan - Cerita Created By MupidStory
Cerita ini Murni karya pribadi, harap membaca dan mematuhi ketentuan pembaca dan besikaplah dengan bijak ya guys.
SOJOY (STORY ENJOY) YUK!!!
PILIHAN HATI
Perjodohan
CINTA. Untuk saat ini, ia hanyalah
seperti lorong-lorong gelap yang sesak. Begitu gelap sampai aku tak bisa
melihat kedua kakiku sendiri. Dan ketika tanganku tak sengaja menemukan pintu,
semakin dibuat bingung aku karena jalan yang tak berujung membawaku kembali
menemukan pintu yang lain, dan lagi-lagi aku tersesat karena salah memasuki
sebuah pintu...,
***
Flashback on two years ago...,
"Apa, Pah? Haliza akan
bertunang? Dan, minggu depan?" Tanya Haliza tak percaya.
Ia baru saja meredakan nyeri di
punggung setelah duduk di ruang tamu rumah yang amat dirinduinya ini. Dan
papanya memaparkan sebuah kabar yang bahkan tak pernah terlintas di benaknya.
'Ini tidak boleh terjadi, aku bahkan belum puas dengan ke-single-anku sekarang.
Ayah tidak berhak mengatur hidupku sampai seenaknya memutuskan kapan aku akan
menikah!' pikirnya.
"Ayah, aku baru saja wisuda
kemarin. Bahkan belum masuk seminggu dan ayah sudah menyuruhku tunangan?"
Tanyanya masih dengan kesabaran.
Kalau bukan dengan ayahnya ia
tengah berbicara sekarang, sudah pasti ia akan mengamuk-meraung semaunya.
Seenaknya mengatur masa depan yang sudah dengan rapi ia rencanakan sendiri. Ia
juga punya mimpi, dan apakah ayahnya tidak memikirkan pendapatnya mengenai
semua itu?
"Ini keputusan ayah, kamu
akan bertunangan dengan anak teman ayah minggu depan. Kamu jangan khawatir,
Liza. Ini hanya tunangan, kamu masih bisa mewujudkan semua mimpimu sebelum kalian
menikah. Lagipula, kalau soal career dan pekerjaan, ayah harap kamu tidak
berpikir untuk lari dari perusahaan ayah," ucap Tuan Hendra datar dan
langsung beranjak usai mengatakan kalimat muktamat dari bibirnya.
Haliza bergidik, tak ya pun ia
memang selalu bergidik jika harus berhadapan dengan ayahnya. Pada akhirnya ia
juga yang harus merelakan diri menerima keputusan apapun yang diambil ayahnya.
Tapi, tidak pernah sekalipun
ayahnya ikut campur dengan mimpinya. Memang sudah sedari dulu ia menyukai dunia
arsitek seperti ayahnya. Mungkin hanya itulah kesamaan yang akan terus
menyelamatkannya dirinya dari kedinginan ayahnya.
"Uh, mama..," rengeknya
pada mamanya, "Haliza tak suka dengan keputusan ayah yang semaunya membuat
Liza tak bisa memilih. Liza punya pilihan Liza sendilah ma."
"Liza dah punya pacar
ya?" Tanya mamanya kaget.
'Upss, aku salah bicara pulak,'
sesalnya. Ia sudah semakin salah tingkah dengan tatapan slidik dari mamanya. Ia
tahu tak mudah menyembunyikan sesuatu dari mamanya. 'Habislah aku setelah ini,'
pikirnya.
"Hei, kenapa diam ni? Liza
dah ada pacarkan?" Desak mamanya. Dan Haliza masih membisu.
Nyonya Maria sudah menunjukkan
wajah sedihnya. Ia sadar puterinya sudah semakin beranjak dewasa, dan inilah
yang paling ia takutkan yaitu Haliza yang mulai menyembunyikan sesuatu darinya.
Haliza semakin merasa tidak
tenang melihat mamanya yang diam dan tak lagi mendesaknya.
"Ma?" Panggilnya.
Tiba-tiba Nyonya Maira
berlinangan air mata. Haliza panik. Hendak memanggil papanya, takut ia pulak
yang akan disalahkan papanya nanti. Ia bingung harus berbuat apa meskipun ia
sudah sering melihat mamanya menangis karena merajuk dengan papanya. Tapi,
tetap saja ia tak bisa melihat mamanya bersedih. Sejak kecil lagi, meskipun
terkadang ia takut dengan ayahnya. Tapi, ia akan selalu menatap tajam ke arah
papanya saat mamanya menangis. Tapi sekang? Siapa pulak yang harus ditatapnya
karena kali ini bukan salah papanya, tapi dirinya sendiri.
"Mama kenapa ni? Maafkan
Haliza kalau Liza ada salah ya, Ma? Liza tak bermaksud menyakiti hati
mama," ucapnya lirih.
Tapi bukan mereda, mamanya malah
semakin galak sesenggukan.
"Ma, janganlah seperti ini.
Liza jadi bingung harus bagaimana," keluh Liza lembut.
Serta-merta mamanya diam dan
menatap ke arah puteri yang sejak dulu selalu ia manjakan. "Maafkan mama.
Mama bukan mama yang baik sampai tak bisa menjadi teman bagi Haliza sampai Liza
tak sudi bercerita masalah pribadi dengan mama."
'Lha? Itukah masalahnya? Jadi,
mamanya hanya menangis karena dia tak mau bercerita masalah persaannya kah?
Duh, kenapa mamaku ini lembut sekali sampai hal sekecil inipun sampai dibuatnya
serius,' dumalnya dalam hati.
"Liza bukannya tak mau
ceritalah, Ma. Tapi, Liza malulah," ujarnya bersemu merah.
Berkali-kali mamanya berkedip,
tak berapa lama meletuslah tawa mamanya, "apa pulak? Pakai malu segala
dengan mama. Kamu ni, sakit perut mama karena ketawa," ujar mamanya yang
tak kunjung meredakan tawanya.
Apalagi yang dilakukanya kalau
tak manyun dua depalah bibirnya sekarang, "Ma, Liza serius tahu Ma,"
ujarnya kesal.
Nyonya Maria menghentikan tawanya
meskipun ia masih mersa lucu dengan sikapnya dan juga anaknya. Malu juga
sebenarnya karena ia sudah sampai menangis-nagis karena takut puterinya itu
akan berubah. Eh, dia yang ditangisi hanya sekedar memendam malu.
"Maaf, maaf, mama
khilaf," candanya sembari mengajak puterinya ke kamar Haliza guna mencari
ruang privasi untuk mereka berbincang ala sesama perempuan.
"Jadi?" Tanya mamanya
setelah mengunci rapat-rapat pintu kamar dengan paduan cat warna hijau dan biru
langit juga beberapa pernak-pernik serial cartoon kegemaran puterinya yang elok
tersusun rapi di dinding.
Ya, Haliza sampai saat ini masih
saja menyukai bahkan memiliki puluhan video cartoon winnie the pooh di
laptopnya. Ia sangat menggilainya karena menurutnya tokoh utama dalam serial
tersebut sangatlah menggemaskan. Bahkan ia juga memiliki beberapa boneka kecil
maupun besar dalam kamarnya. Sejak kecil lagi, mamanya dengan senang hati
membolehkannya mengoleksi semuanya itu. Dan pada akhirnya, penuh satu kasurnya
dengan bonekanya. Tapi, ia senang dan tidak mau berpisah dengan satupun dari
mereka.
"No, aku tak bisa tidur, Ma.
Kalau winnie2ku tak menemaniku tidur," rengek Haliza kecil ketika mamanya
ingin memindahkan beberapa boneka dari kasurnya.
Nyonya Maria tersenyum ketika
mengingat masa kecil Haliza yang cukup memenuhi ingatannya. Haliza adalah anak
semata wayangnya, dokter sudah mengesahkan bahwa ia tak dapat memiliki zuriat
lagi setelah kelahiran Haliza. Ia sudah bersyukur Haliza bisa selamat meskipun
lahir dalam keadaan premature. Ya, salahnya dulu tak berhati-hati ketika
menuruni anak tangga dalam keadaan ralat mengandung 7 bulan lebih 2 minggu.
"Kenapa ni? Kenapa mama
nangis lagi? Liza tidak suka melihat mama bersedih ni," ujar Haliza seraya
mengusap air mata mamanya. 'Aku melukai mama lagikah?' Duganya dalam diam.
"Tidak, sayang. Mama hanya
bersyukur anak mama ini sekalipun tak berubah meskipun beberapa tahun jauh dari
mama," jawab mamanya tulus.
Haliza tersenyum, "apanya
yang beberapa tahun, Ma. Haliza tiap bulan pulang ke rumah ini juga dibilangnya
tak pulang beberapa tahun. Tak iyanya benar tak pulang, menangis meraung mama
nanti," guraunya guna menghalangi tangisan kembali tumpah.
Dia pulang ke rumah karena ingin
mengobati rindu, mengapa harus bercumbu dengan tangisan mamanya pulak sekarang.
Tak adil betul!! Haru, haru hidupnya habis ini. Semua gara-gara papalah,
mengapa tiba-tiba menyuruhnya bertunang dalam masa dekat ini, getir hatinya
perih.
"Jadi, gimana. Anak mama ini
sudah punya pacar ya?" Goda mamanya yang langsung ditanggapi dwngan semu
merah di pipinya.
'Habis merah mukaku ini pasti.
Duh, kenapa masih ingat dengan itu sih,' keluhnya dalam hati. Tapi, ya. Untuk
mamanya ia akan menepis semua kemaluan yang ada. Eh?
"Bukan, bukan, Ma. Bukan
pacar. Tapi...,"
Flashback off
***
Bersambung…,

0 Komentar