Ye ye ye, Assalamualaikum, Selamat datang di gubuk media MupidStory, terima kasih sudah mampir. Rasakan kenikamatan Hakiki Story Enjoy, tips bermanfaat dan dunia Art.

Seperti biasa kita berada di plot cerita dari Destroyed, nah kali ini mimin mau update Part 4nya, buat kalian yang baru mampir dan belum baca prolognya silahkan klik, link judul ini, BAB Prolog Destroyed, dan Plot seru Destroyed, supaya kalian lebih paham jalan ceritanya dan tidak kebingungan ketika membaca lanjutan cerita ini.

Oke, sebelumnya saya tegaskan lagi. Cerita ini Murni karya pribadi, harap membaca dan mematuhi ketentuan pembaca dan besikaplah dengan bijak ya guys. 

SOJOY (STORY ENJOY) YUK!!!



DESTOYED

My Handsome Victim

Hidup memang seakan mempermainkanku. Dengan atau tanpa persetujuanku. Nyatanya, aku ikut andil di dalamnya. Karena ya, aku hidup, meskipun terpaksa menjalaninya..,
***

Ana POV-on

Pagi ini aku mengenakan kaos merah tanpa lengan dan rompi hitam yang sering melekat di tubuh kecilku, juga celana hot pans hitam ketat yang membuatku risih setengah mati. Tapi ya, mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin memakai setelan casualku ketika berburu. Katanya aku harus terlihat, menarik? Entahlah!

Sedikit ku poleskan bedak dan lipstik pemberian Merlin yang sudah dua tahun ini menjadi kewajiban bagiku. Meskipun hanya polesan sederhana, lipstik merah nyalang di bibirku membuatku terlihat sedikit melewati umurku yang seharusnya. Ditambah penampilanku yang sememangnya tak biasa dengan rambut panjangku yang biasa ku gerai bebas mengalun punggungku, kini ku sanggul tinggi sehingga menampilkan leher jenjangku. Ku rasa, hari ini aku terlalu berani. Aku mulai berani menampilkan apa yang diminta oleh Merlin dua tahun yang lalu. Rasanya, aku sudah mulai ikut-ikutan gila. Ah, ini memang benar-benar dandanan gila. Aku seperti.., uh. Jalang.

Aku tak bisa lepas dari cermin meskipun kini aku berdiri. Apa aku harus turun sekarang?

Aku berbalik kaget ketika pintu tiba-tiba di buka. Aku menahan napas melihat Roman di ambang pintu. Entah bagaimana aku merasa pipiku memanas. Sungguh, penampilanku ini membuatku jengah. Apalagi melihat seringai lelaki di depanku yang membuatku kesulitan menelan ludah.

“Aku tak menyangka, gadis kurus sepertimu bisa terlihat menarik juga,” ujar Roman. Aku terkesiap ketika ia mulai melangkah masuk. Kata-katanya barusan membuatku merinding sekaligus kesal. Dia mengejek atau memuji sebenarnya?

Atmosfer di dalam ruangan merahku semakin terasa memanas ketika kurasa tangan Roman dengan sensualnya menyelipkan anak rambutku yang bebas ke belakang telinga. Kemudian berhenti bermain-main di sana membuatku tegang setengah mati.

“Apa yang kau lakukan, hei?!” tanyaku panik ketika tangannya mulai menurun mengangkat daguku, membuatku sedikit mendongak ke arahnya yang tinggi menjulang.

Bukannya membalas pertanyaanku, ia malah balik bertanya.

“Apa yang harus ku lakukan, hem?” ujarnya dengan tatapan yang tak bisa ku tebak. Dan lagi-lagi aku membeku ketika tangan kasarnya menyentuh bibirku. “Kurasa lipstik merah tak cocok untuk gadis kecil sepertimu,” lanjutnya.

“A-apa maksudmu?” tanyaku gagap.

“Apa maksudku?” ujarnya balik bertanya membuatku mengangkat sebelah alisku. Kemudian ia menepis jarak dan mengecup singkat bibirku tanpa ku duga-duga. Aku merasa sangat bodoh karena terus saja membeku karena perlakuannya. “Tentu saja karena aku lebih suka bibir merah naturalmu,” bisiknya tepat di telingaku. Aku meremang sekaligus heran.

“Berhentilah membayangkan hal-hal erotis bersamaku, Ana. Aku tidak akan melakukannya. Kurasa tidak untuk sekarang.” Ucapan Roman membuatku kembali dari lamunanku. Menatap heran ke arahnya. Seakan berkata, siapa yang membayangkan siapa? Dan apa tadi dia bilang, erotis?

“Aku tahu kau akan menyukainya,” ujarnya lagi. “Tapi, kau harus turun sekarang,” lagi-lagi ia mengecup singkat bibirku setelah mengucapkan perintahnya. Dan kemudian berbalik dengan seringai puasnya meninggalkanku yang keras berpikir. Aku? Akan menyukai apa?

“Dasar pria mesum!! Siapa yang menyukainya, bodoh! Hei!” teriakku ketika sadar arah pembicaraannya barusan.

Bisa-bisanya ia menganggapku akan menyukai kegiatan ‘itu’ dengannya, dasar otak mesum! Dewi batinku kesal.
___________________

Sumpah. Ini benar-benar membuatku mual dengan apa yang aku lakukan sekarang. Merlin, suatu saat aku akan mencekikmu karena telah mengajariku hal-hal yang gila. Apa malam ini aku harus menjadi, jalang?

“Jangan tegang, nikmati saja. Mereka hanyalah sekumpulan bajingan bodoh,” bisik Merlin yang merasakan ketidak nyamananku karena hampir semua pria di sini menatap aneh ke arah kami. Lebih tepatnya ke arahku. Mungkin karena aku terlihat, asing?

“Kurasa, suatu saat kau yang harus ku bunuh, Mer,” ucapku kesal. Merlin tertawa lepas.

“Ku yakin kau akan berterima kasih padaku suatu saat nanti. Kegiatan ini cukup berguna untuk kaum kita, sayang.”

Aku hanya memutar bola mataku sebagai jawaban atas ucapannya barusan. Misi kami masih berlanjut, menarik perhatian pria berambut pirang yang duduk tenang di sudut meja bar dengan rokok terapit di bibirnya.

“Kali ini kenapa kita harus membunuhnya?” tanyaku seakan Merlin pernah menjawabnya. “Ku rasa ia terlihat baik,” lanjutku sambil menilai penampilannya.

Pria itu lumayan tampan dengan kulitnya yang putih mengalahkan kulitku. Sepertinya dia blesteran indo-jerman, entahlah. Ia juga memiliki rahang yang sexy. Ku rasa ia kaya, karena ia memakai jas dan jam tangan yang terlihat mahal juga gaya rambutnya yang tersisir rapi memperlihatkan bahwa ia seorang pengusaha sukses.

“Kau pikir orang baik akan berada di tempat seperti ini? Jangan bercanda, Pili.” Kata-kata Merlin ada benarnya juga, mana ada orang baik-baik yang pergi ke club kan?

“Lalu, kali ini karena apa?” tanyaku lagi.

“Jangan keras kepala, Pili. Ku tahu, kau sudah paham bahwa kau tak akan pernah mendapatkan jawabannya,” ucap Merlin tegas. Aku mengeluh. Selalu saja begitu, entah hidup seperti apa yang aku jalani sekarang. Dosa seperti apa yang semakin lama membuatku merasa tak memiliki harga diri lagi.

“Bersiaplah, sepertinya ia mulai tertarik kepadamu. Ia terus saja melihat ke arah kita.” Bisikan Merlin di telingaku membuatku menoleh ke arah pria berambut pirang itu. Dan saat itulah tatapanku bertemu mata abu-abu miliknya dengan perasaan heran.

Apa benar dia tertarik padaku? Pikirku ragu mengingat tak hanya pria itu yang menatapi kami penasaran. Tapi sesuai kata Merlin, senyumku mengulum palsu ke arahnya. Mengundang.

Pria bermata indah itu berdiri dan mulai melangkah pasti ke arah mejaku dan Merlin. Dia lumayan tinggi dan tampan. Mungkin tingginya lima senti di bawah tinggi Roman yang menjapai 180 senti.  Tapi sayang, umurnya tak panjang. Pikirku miris.

“Hai, ladies. Boleh aku duduk?” tanyanya yang membuatku menelan ludah. Suaranya juga lumayan. Aku tersenyum miris. Sangat disayangkan.

“Oh, silahkan,” ucap Merlin mewakili . Aku hanya mengangguk setuju dan tersenyum ramah ke arahnya.

“Aku Damian. Damian Redika Florest,” ujarnya memperkenalkan nama penuhnya sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Merlin menyebrangi tubuhku yang berada di antara mereka dan disambut dengan senang hati olehnya. Ku rasa dia memang kaya sampai-sampai memiliki nama belakang segala.

“Merlin Sigh, panggil saja Merlin atau Elin juga boleh,” jawabnya dengan senyuman menggoda. Ah, dasar aktris ulung!

“Oh, Indian girl, right? Dan, siapa gadis manis ini, Merlin?” tanyanya masih berjabat tangan, tapi matanya fokus ke arahku dan mengedip singkat.

Aku sedikit terkesiap dengan reaksinya, kurasa benar kalau dia tertarik padaku. Gadis kurus yang bisa juga menarik, sesuai apa yang dikatakan Roman pagi tadi. Entah mengapa, aku sedikit kesal mengingatnya. Namun, kali ini aku cukup pintar menguasai emosiku dengan tersenyum ke arahnya.

“Tuan Damian ini, bisa saja,” ucapku seakan tersipu mendengarnya. “Namaku Pili,” lanjutku menjawab pertanyaannya pada Merlin, tentu saja tanpa memberitahu nama belakangku karena aku bingung merangkai sebuah nama yang pas. Aku tidak tahu mengapa aku menggunakan nama itu, terasa sayang jika menyebutkan nama asliku dengan keadaanku yang memang bukan seperti diriku. Anastasya yang pendiam dan kaku.

“Wow, nama yang unik. Cocok untuk gadis unik sepertimu.” Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. Kemudian ia kembali melanjutkan kalimatnya, “dan panggil saja aku Damian tanpa embel-embel ‘Tuan’ di depan. Aku belum terlalu tua untuk itu.”

“Ok, Damian,” putusku dengan tawa renyah karena kalimat terakhir yang diucapkannya barusan.

Pria ini memiliki humor yang baik, dan mata abu-abu yang indah. Tentu saja, pikirku seakan lupa kalau pria di sampingku adalah mangsa. Dan aku adalah predatornya.

*****

Bersambung…,

Gimana? Ada yang mulai penasaran bagaimana kelanjutannya?

 Lanjutan Klik ini, Part 5

0 Komentar