Part 5 Destroyed - My Handsome Victim (2) - Cerita Created By MupidStory
Ye ye ye, Assalamualaikum, Selamat datang di gubuk media MupidStory, terima kasih sudah mampir. Rasakan kenikamatan Hakiki Story Enjoy, tips bermanfaat dan dunia Art.
Seperti biasa kita berada di plot cerita dari Destroyed, nah kali ini mimin mau update Part 5nya, buat kalian yang baru mampir dan belum baca prolognya silahkan klik, link judul ini, BAB Prolog Destroyed, dan Plot seru Destroyed, supaya kalian lebih paham jalan ceritanya dan tidak kebingungan ketika membaca lanjutan cerita ini.
Oke, sebelumnya saya tegaskan lagi. Cerita ini Murni karya pribadi, harap membaca dan mematuhi ketentuan pembaca dan besikaplah dengan bijak ya guys.
SOJOY (STORY ENJOY) YUK!!!
DESTOYED
My Handsome Victim (2)
Happy Reading ya
guys, 😍😍
Sampai saat aku merasa lelah, dan
ingin menyerah.., kau datang bersama gundah karena sesalmu membuatku
susah, susah mengerti mana sikapmu yang sebenarnya..,
***
Tak banyak yang kami bicarakan di
awal, hanya sekedar gurauan yang banyak terlontarkan di bibir pria berambut
pirang di sampingku. Sedikit banyaknya aku menanggapi gurauannya dengan candaan
garingku ataupun sekedar tersenyum malu karena pujiannya.
“Kau sudah pesan minumanmu? Akan ku
traktir. Untuk perkenalan kita, semoga kita bisa menjadi teman,” tanya pria di
sampingku membuka kembali percakapan.
“Ah, kau baik sekali Damian. Tapi,
mungkin lain kali. Kami sudah pesan tadi,” ujarku pura-pura menyesal. Merlin
tersenyum penuh makna ke arahku. Aku mengedip. Aku juga bisa Merlin, jangan
remehkan aku.
“Sepertinya akan ada pertemuan kedua,”
cicit Damian senang sambil menekankan kata di akhir ucapannya, “tak sabar
rasanya menanti hari itu tiba,” lanjutnya lagi.
“Ku harap juga begitu, jika kau
berkenan. Senang berkenalan dengan pria tampan dan ramah sepertimu, Damian,”
pujiku seakan mengharapkan hal yang sama.
“Aku yang lebih senang berkenalan
dengan gadis manis sepertimu, dear,” balasnya tak mau kalah bersama
dengan senyuman yang membuat setiap gadis manapun meleleh melihatnya, tak
terkecuali aku.
Belum sempat aku membalasnya, Bartender
menghulurkan minumanku dan Merlin, membuatku menoleh ke arah pria jangkung di
depanku dan tersenyum tulus, “terima kasih,” ucapku setelah menerima wine
rendah alkoholku.
“Sepertinya kalian butuh ruang lebih
berdua, aku akan ke sana. Kau bisa mencariku di sana nanti, Li,” ujar
Merlin menatap kepadaku dan ku anggukkan tanda setuju sambil memandang ke
arahnya. Tatapan mataku tak bisa menutupi kekhawatiranku. Bagaimana tidak, ini
adalah sesuatu yang mustahil ku lakukan. Merlin mengerti, ia mengelus pundakku
pelan seakan memberi semangat, ‘semoga beruntung’ dapat kuartikan dari sorot
matanya yang menenangkan dan kemudian ia dengan anggun berlalu sambil mengedip
ke arah Damian.
“Jaga baik-baik sepupu cantikku,
Damian,” pesannya sebelum meninggalkan kami berdua.
“Tentu saja.” Balas Damian yakin.
Akhirnya kami mengobrol berdua.
Lebih tepatnya, Damian yang banyak bicara karena ia terus saja menggoda dan membuat
pipiku memerah. Ah, beginilah ketika harus berhadapan dengan pria tampan.
Huhuhu.
Ku tautkan jemariku, ada sedikit
perasaan bersalah menyambangi benakku. Damian, pria yang baik sekaligus
romantis, tambahan plusnya adalah dia tampan dan sexy. Tapi mengapa
ia harus dibunuh? Ini adalah pertama kalinya aku ikut andil secara mendalam
mengenai pembunuhan yang dilakukan Roman dan komplotannya. Sebelumnya aku hanya
diam mengamati dan terkadang sedikit membantu mengurusi kebutuhan selain itu.
Aku juga hanya berlatih bela diri dan senjata saja tanpa diberi mandat untuk
hal itu. Entahlah!
Aku semakin gelisah ketika secara
tiba-tiba jemariku digenggam lembut oleh dua tangan kokoh miliknya. Sontak aku
mendongak dengan tatapan bertanya, ada apa?
“Kau tak minum? Minumanmu hampir
masih utuh,” ujarnya lembut.
Aku menatap gelas di hadapanku. “Oh,
ya. Mau cheers?” tanyaku sambil melihat gelasnya yang tinggal setengah.
Entah sejak kapan ia memesannya, aku tidak sadar. Karena sejak tadi aku terus
berpikir aku harus melakukan apa setelah ini. Aku tak begitu pandai menjadi
gadis liar. Minum alkoholpun tidak pernah.
“Boleh,” ujarnya sambil mengangkat
gelasnya ke arahku. “Satu tegukan untuk gadis cantik sepertimu,” lanjutnya
sambil terenyum dan meminum minumannya sampai tandas.
“Sepertimya kau sedikit pendiam, manis?
Aku suka itu,” aku mengernyit. Dia suka gadis pendiam? Tidak salah?
“Ah, kau hanya belum mengenalku
saja, Damian. Aku bahkan bisa lebih cerewet mengalahkan ibu-ibu PKK di desa,”
candaku menanggapi dugaannya.
“Begitu juga, aku suka. Apapun
darimu, kurasa aku akan suka. Kau sungguh gadis yang manis, sungguh.”
Perkataan Damian membuat pipiku memerah, karena sebelumnya aku memang jarang
dipuji seperti itu.
“Ah, gombal,” balasku sambil
meliuk dan menampar bahunya sensual. Ia sedikit menahan nafas. Dan kembali
meminum minumannya nikmat. Memandang ke arahku sambil meminum minumannya.
Menggodaku dengan mata indahnya.
Ia terus menggodaku dan tentu saja
aku yang selalu bereaksi seakan tersipu dan menerima apapun perlakuaannya.
Bahkan kini aku mulai menggelayuti dirinya seakan aku mulai mabuk dan
mengharapkan lebih dari sekedar sentuhan dan ciuman panas. Ku lihat mata Damian
yang mulai menggelap karena gairah, juga deru nafas yang tersendat akibat
banyak ku cekoki minuman yang dipesannnya. Gila, dia bahkan sudah meminum
sebotol penuh tapi masih sanggup duduk dengan tegak dan menggodaku.
“Sepertinya kita perlukan sebuah
kamar, honey,” seringainya di telingaku sambil mengelus pundak hingga
menyusuri punggungku. Aku tersenyum.
“Tentu, biar ku bantu. Kau sangat
mabuk, sayang.”
“Aku tak mabuk. Aku hanya
bergairah,” rancaunya sambil tersenyum aneh dan semakin erat memelukku.
“Kau mabuk, Damian. Biar ku bantu.
Kau bisa memelukku lagi setelah ini, sepuasmu,” ujarku meyakinkan agar
ia mau ku papah.
“Benarkah? Oh, baiklah.”
Aku mulai memutar bola mata.
Ternyata mengurus pria mabuk sangat sulit. Egonya begitu tinggi. Untung saja dia
tampan, kalau tidak sudah ku tendang sampai Benua Antartika. Menyusahkan!
Aku menoleh. Mencari keberadaan
Merlin dan Roman juga kacung-kacungnya. Aku juga hampir mabuk, kepalaku pusing.
Ini adalah kali pertamnaya aku minum cairan haram itu. Meskipun kata
Merlin, itu rendah alkohol supaya Damian tidak curiga karena bau alkohol sangat
menyengat.
“Ayolah sayang, aku sudah tidak
sabar ingin menyentuhmu,” rengek Damian yang memang sudah dari tadi mencoba
menggerayangi seluruh tubuhku. Tapi sedikit ku tepis ketika ia hendak menyentuh
bagian-bagian tertentu. Aku risih, tak terbiasa. Juga jijik dengan pria
mabuk, meskipun dia tampan. Pikirku sedih.
“Iya, sebentar,” aku mulai memapah
tubuhnya yang berat setengah mati menuju pintu keluar ketika melihat merlin
memberi intruksi.
Dengan susah payah aku akhirnya
sampai di depan pintu. Aku sedikit merinding ketika melihat tatapan membuhuh
dari pria yang sudah tak lagi berjenggot itu. Sepertinya dia memang sudah tak
sabar ingin membunuh.
“Hei, kau siapa?” tanya Damian marah
ketika tubuhnya ditarik paksa dari rengkuhanku.
Roman menatapnya nyalang, ada
guratan tajam di dahinya juga suara gemelatuk gigi karena kuatnya menahan
marah. Ia langsung memberi Damian bogeman mentahnya ke mukanya. Merlin
memekik kaget. Untung saja kami sudah di halaman club, jadi tak ada yang
menonton aksi Roman pada Damian saat ini.
“Roman, apa kau gila! Jangan
disini!” pekik Merlin marah. Aku hanya menatap bingung keduanya, dan meringis
menatapan kasihan pada pria tampan yang tersungkur pingsan ke tanah akibat
pukulan keras Roman.
“Dasar pria lembek, begitu saja
sudah pingsan,” ejeknya sambil menendang tubuh Damian. Aku melotot tak percaya.
Dasar, pria!
“Urus dia!” ujarnya pada
antek-anteknya kemudian menatapku marah. Aku sedikit tersentak karena ia menarikku
kasar menuju mobil.
“Roman, ini sakit. Aku bisa jalan
sendiri. Kau itu kenapa?” ujarku tidak terima dengan perlakuannya. Aku mencoba
meronta namun sia-sia karena cengkraman tangan roman yang begitu kuat bahkan
sampai membuat pergelangan tangan kananku sedikit ngilu.
“Masuk!” arahannya tegas.
Aku hanya mendengus kesal karena
tidak bisa menolak. Dan masuk dengan cepat. Aku sedikit meringis ketika melihat
pergelangan tanganku yang memerah, ini pasti nantinya akan membekas dan
membiru.
Aku hanya diam dalam perjalanan,
masih merasa kesal dengan kejadian kekanak-kanakan barusan. Entah apa yang ku
lakukan sampai membuat pria di sampingku marah. Ku lirik supir di depanku yang
sudah tak lagi sama seperti biasanya.
“Supir baru?” desahku spontan, tapi
masih di dengar oleh kedua pria di mobil itu.
Ku lihat supir itu sedikit menengok
ke arahku dan tersenyum ramah. Belum sempat aku membalasnya Roman sudah
berkata,
“Tak perlu sok manis dengannya. Kau
tidak pantas,” ujarnya dingin pada sopir itu. Matanya menatap sopirnya tak
suka. Ah, mungkin lebih tepatnya bodyguard barunya karena melihat
tubuhnya yang besar dan berotot.
Aku menoleh menatap Roman heran. Apa
salahnya dia tersenyum padaku. Dasar, pria dingin! Umpatku dalam hati.
“Tak usah mengumpatku, aku
mendengarnya. Cukup keras sampai telingaku,” ujarnya seakan aku mengatakannya.
Aku mendengus kesal.
“Kita mau kemana?” tanyaku tak
menanggapi ucapannya. Malas berdebat. Ku lihat arah jalan yang kami lalui
sedikit berbeda dari biasanya.
“Kita sudah tak lagi di tempat itu,”
ujarnya datar.
“Oh,” balasku singkat dan mendesah
lelah. Aku jadi tak lagi bernafsu untuk bertanya ketika mendengar kami
lagi-lagi akan pindah. Lama-lama aku akan lupa jalan pulang kalau begini
ceritanya. Aku bahkan sudah tidak ingat kota mana saja yang pernah aku
singgahi. Aku hanya ingin pulang ke New York.
Aku memutuskan mencoba untuk tidur
karena kepalaku semakin pusing. Aku memang tidak mabuk karena aku memang hanya
minum segelas saja tadi. Tapi kepalaku berdenyut pusing, entah masih karena
alkohol atau perdebatan alotku dengan lelaki dingin di sampingku yang
membuatku jengah. Aku tidak tahu. Ku pejamkan mataku, berharap bisa segara
tidur dan bermimpi indah.
Aku sedikit teringat pada Damian
tapi aku malas bertanya pada Roman. Pria itu tidak bisa ku duga-duga suasana
hantinya. Sebentar bersikap aneh, sebentar galak dan dingin, sebentar
menyebalkan dan bahkan mesum, sebentar juga seakan baik. Membuatku susah
menanggapi suasana hatinya yang berubah-ubah. Tapi, entah mengapa aku betah
memandanginya, mendengar suaranya, menanggapinya dengan sanggahanku yang
sengaja membuatnya marah.
Ah, entahlah. Lebih baik aku diam
dan tidur saja. Mungkin, nanti ketika sampai aku akan tanyakan mengenai Damian.
Akhirnya setelah lama berpikir, aku tertidur.
Ana POV-off
*****
Bersambung…,
Hem..., ada yang penasaran nggak sih dengan
cerpen ini? 😂😂

0 Komentar